Minggu, 29 April 2012

Love And Truth [Part 02]




Casts :
·         Haruma Miura
·         Kato Michiyo
·         Mikako Tabe
·         And other casts

Author’s POV

Michiyo kembali ke kelas dengan wajah berseri. Perubahan air wajahnya ini sempat menarik perhatian teman-teman sekelasnya. Bedanya, Miura kini juga mendongakkan kepala untuk ikut-ikutan melihat. Sikap Michiyo juga memperlihatkan banyak perubahan meski tidak terlalu kentara. Diam-diam, Miura menatap Michiyo sampai gadis itu duduk ditempatnya. “Caranya berjalan sudah berbeda,” gumamnya.


“Selamat siang anak-anak. Saya akan mengadakan penilaian untuk mengetahui seberapa jauh perkembangan kalian selama belajar di sini. Kalian harus berusaha untuk mengira-ngira jalan pikiran saya. Saya akan menjadi kiper dan kalian diberi kesempatan untuk menendang dua kali. Masukkan bola sebanyak yang kalian bisa. Sekarang, bersiap! Dimulai dari nomor urut satu, Matsumoto Yoko.”

Michiyo duduk ditempat duduk paling pojok belakang yang berarti dia memiliki nomor urut akhir. Berbeda dengan Haruma Miura yang mendapatkan nomor urut jauh diatasnya.

“Haruma Miura!” panggil guru mereka. Miura sudah bersiap dengan bola disertai ancang-ancangnya. Dia hanya berdiri tenang dan menatap gurunya sesaat. Ia berjalan sambil menggiring bolanya dan dengan sekali tendangan, gooolll!!!

“Gol pertama dari seluruh siswa dicetak oleh Haruma Miura. Selamat!” Gyuji Sensei terlihat puas. Ya, sebelum Miura, belum ada yang berhasil memasukkan bola ke dalam gawang. Michiyo yang bersandar pada dinding lapangan memperhatikan gerak-gerik Miura. Ia bergumam tidak jelas selama beberapa kali sampai akhirnya ia tersenyum lebar. Setelah Miura, banyak yang mencoba meniru gerakannya tapi gagal. Michiyo tersenyum melihat kegagalan siswa-siswa lain. Mereka hanya terpaku pada satu titik.

“Kato Michiyo!” seru gurunya memanggilnya. Dengan percaya diri, ia mendekati bola yang sudah tersedia. Kakinya menginjak bolanya. Tanpa sadar, ia menghirup nafas dalam-dalam. Michiyo sendiri heran, sejak kapan ia berubah menjadi mudah gugup begini?

Michiyo mengamati pergerakan Gyuji Sensei yang berdiri di sebelah kanan. Perlahan, Michiyo menggerakkan bolanya ke kanan dan ke kiri. Bahkan membawanya ke depan dengan sangat pelan, seakan dia sedang bermain-main. Gyuji Sensei bahkan gusar saking lamanya anak itu bermain-main dengan bolanya. “Hei, kamu itu mau bermain atau mau ikut pelajaran?!!”

Tiba-tiba Michiyo menggiring dengan cepat kesana kemari. Jika Gyuji Sensei tidak konsentrasi, gawangnya bisa kebobolan. Dan benar saja, Michiyo berhasil memasukkan satu!

“Yeah!” katanya senang. Masih satu kesempatan tersisa. Dengan mudahnya gadis itu mempermainkan bola dan memasukkannya. Hanya saja pada kesempatan kedua, Michiyo harus bersusah payah karena rupanya Gyuji Sensei hampir berhasil menebak pikirannya. Tapi pada akhirnya bola itu melewati gawang dan.. goolll!!!

Prestasi Michiyo membuat teman-temannya bengong. Kemudian Michiyo menunduk dan bertepuk tangan sendiri. Ia tersenyum lebar saking senangnya. Michiyo menoleh ke samping ketika mendengar bunyi tepukan yang bukan darinya. Miura tersenyum kearahnya sambil bertepuk tangan. Michiyo tersenyum dan mengangguk membalasnya.

Michiyo berlari kearah toilet setelah penilaian selesai. Ia mencuci tangannya sambil tersenyum pada bayangannya sendiri dicermin. Michiyo sibuk menggosok-gosok tangannya ketika ia mendongak dilihatnya Miura sudah berada disampingnya.

“Astaga! Mengagetkan saja!” kata Michiyo pada Miura. Lebih tepatnya pada bayangan Miura.

“Apa kau selalu melakukan kebiasaan ini setelah bermain?” Miura melirik teman sekelasnya itu.

“Ya, kurang lebih begitu. Tidak selalu, sih. Tapi sering. Kalau kau?”

“Ya, begitulah. Ayahku selalu mengajariku begitu. Selamat untuk golmu tadi, Michiyo..”

“Oh, iya. Arigatou gozaimasu.” Miura sedikit terkejut melihat senyum Michiyo yang terlihat berbeda dan wajahnya yang memerah. Wajah pria ternyata juga bisa memerah ya, kalau dipuji?

“Ayo, kita harus segera kembali ke kelas.” Miura menepuk punggung Michiyo perlahan. Gadis itu hanya tersenyum.

***

“Bagaimana sekolahmu?” tanya Tabe sepulang mereka dari sekolah.

“Kan sudah kubilang, di sana menyenangkan.”

“Kau kan tidak bisa dipercaya, makanya aku tanya lagi. Ada sesuatu yang berubah darimu, tahu.”

“Berubah apa?”

“Banyak. Yang jelas kau seperti bukan adikku. Tapi aku lega karena ini perubahan baik. Kalau ada masalah, jangan segan-segan cerita padaku, mengerti?”

Michiyo bergumam dan menatap kakaknya. “Bagaimana dengan iklan terbaru kakak? Apakah berjalan dengan lancar?”

“Tentu saja baik. Aku mendapatkan teman baru. Dia lebih muda dariku dua tahun. Tapi sikapnya dewasa sekali. Aku sempat menyangkanya kami seumur.”

“Ahh, begitu. Jadi kakak mulai jatuh cinta ya?”

“Chiyooo!!!”

***

 “Selamat pagi semua.” Miura tersenyum ketika mengucapkannya, membuat teman-temannya, seluruhnya membalas sapaannya dengan ramah. Tapi raut wajah mereka berubah seketika saat melihat Michiyo berdiri di belakang Miura. Miura melihat kebelakang dan melakukan hal yang sama. “Selamat pagi,” katanya sambil tersenyum.

“Selamat pagi,” balas Michiyo sambil mengulurkan tangan. Miura menjabat tangan temannya itu dengan senyum yang masih menggantung diwajahnya.


Miura’s POV

“Selamat pagi,” ujarku padanya. Dia mengulurkan tangannya dan tersenyum. Perubahannya sudah begitu banyak. Apa yang sudah Ayah lakukan sampai anak sepertinya bisa berubah total seperti ini?

Kalau aku tidak salah, aku bisa merasakan tangannya kecil sekali. Maksudku, dari semua siswa di kelas ini yang pernah kujabat tangannya, dialah yang terkecil.

Aku hanya berjalan menuju tempat dudukku dan berusaha untuk tidak memikirkan hal tadi. Kuakui, terkadang imajinasiku berlebihan.

“Hei, apa kalian tahu sebelum liburan musim panas besok akan diadakan acara berkemah?” aku mencari sumber suara. Taro sedang berbicara dengan lantang disana.

“Wah menyenangkan!” respon salah seorang siswa.


Author’s POV
“Hei, apa kalian tahu sebelum liburan musim panas besok akan diadakan acara berkemah?” salah seorang siswa berteriak lantang dengan raut wajah penuh kepuasan.

“Apa?!?” kata Michiyo pelan.

“Acara berkemah akan diadakan di sekolah, kita akan menginap di sini! Wow, menakjubkan, kan?”

Suara mulai terdengar riuh rendah antara para siswa yang sibuk menanyakan satu sama lain seperti “apa yang akan kamu bawa besok?” “berapa banyak uang yang akan kamu bawa?” atau “apa yang akan kau lakukan saat jam bebas nanti?”

Satu-satunya yang terlihat sama sekali tidak senang, tentu saja Kato Michiyo.


***


Ya, ini sungguh malapetaka untuknya karena malam ini dia harus berkemah dan tidur ditempat yang sama dengan para calon atlet sepak bola itu. Mengerikan. Michiyo belum berpikir bahwa resiko masuk sekolah Sakkato dapat semengerikan ini. Michiyo berpamit pada keluarganya dengan alasan mau menginap di rumah teman lama. Beruntung saat itu Tabe sedang tidak di rumah. Kalau itu sampai terjadi, pasti akan terjadi keributan besar.

Acara malam itu diawali dengan acara api unggun. Anak-anak kelas bawah Sakkato akan duduk melingkar dan setelah itu bebeas melakukan apa pun yang mereka inginkan. Michiyo berusaha terlihat sama dengan mereka. Semoga saja aktingku kali ini berhasil.

Acara api unggun berlalu begitu cepat. Sudah hampir tengah malam dan ini saatnya mereka tidur dalam tenda kelompok mereka masing-masing. Michiyo memilih duduk dan membaca sebuah buku sambil bersandar di sebuah pohon dekat api. Ia berharap semoga malam ini bisa berlalu secepat acara api unggun tadi. Seiring berjalannya waktu, api semakin mengecil dan sekeliling sudah cukup gelap. Michiyo memutuskan untuk mendekati tenda kelompoknya namun hanya sebatas diluar. Ia tidak berani mengambil resiko tinggi setelah keluar dari tenda itu.

Miura mengangkat selimutnya sampai sebatas dagu. Dilihatnya teman-temannya yang sudah tidur dengan pulasnya. Karena belum bisa tidur, Miura iseng menghitung jumlah anak dalam tenda itu. Hanya empat. Kemana yang satu lagi?

Michiyo tidur telentang dengan tangan sebagai alas kepalanya. Bintang cukup banyak malam ini dan merekalah yang akan menemani Michiyo malam ini. Hanya dengan sebuah selimut, ia harap bisa tidur nyenyak.

“Kenapa tidak masuk?” suara Miura membuat mata Michiyo melotot karena terkejut. Kemudian ia duduk dan berusaha bersikap santai.

“Aku hanya menyukai udara luar. Aku ingin mencoba tidur disini.”

“Bukankah disini banyak nyamuk?”

“Aku rasa nyamuk tidak suka rasa darah dari manusia sepertiku,” kata Michiyo, tertawa setelahnya. “Bagaimana denganmu?”

“Aku belum bisa tidur, jadi aku memilih keluar sekaligus mencari udara segar.”

Mereka membicarakan banyak hal. Michiyo berpikir, Miura merupakan seorang teman yang mengasyikkan apalagi jika sudah diajak berbicara. Hal yang sama dirasakan oleh Miura.

“Um, aku hanya tidak mengira bahwa kita memiliki banyak kesamaan. Boleh aku bertanya sesuatu?” Miura melirik Michiyo dari sudut matanya. Gadis itu terlihat sedang menguap.

“Tentu saja. Kita kan teman.”

“Menurutmu.. aku ini orang yang seperti a..?” Miura melihat Michiyo yang kini sudah bersandar dilengannya. Anak itu sudah tertidur. Tanpa sadar Miura tersenyum dan ia memilih untuk tinggal. Miura meraih selimut Michiyo dan menyelimutinya. Kemudian ia memeluk kedua lututnya yang tertekuk dan mencoba untuk tidur tanpa harus mengganggu tidur gadis itu.

Sesuatu yang berbunyi tidak lebih seperti panci dipukul terdengar menyeruak keras sekali. Miura terbangun dengan cepat dan dengan lembut membangunkan Michiyo. Gadis itu juga tersadar dengan cepat dan segera memisahkan diri dengan sigap dan masuk kedalam tenda. Miura hanya melongo melihat kecekatan gadis itu bertindak padahal ia baru saja membuka matanya.

“Sudah pagi!” teriak salah seorang siswa diantara kerumunan siswa yang sebagian besar masih setengah tertidur. “Bagaimana kalau kita mandi air hangat bersama?”

“Asyik! Kita bisa saling menggosok punggung!” kata yang lain

“Kalau begitu kapan?” tanya seorang yang lain lagi.

“Secepatnya!” sahut seseorang cepat.

“Apa?” teriak Michiyo dalam hati. Ini tidak kurang dari sebuah penyiksaan.

“Kau mau ikut?” Miura yang kini sudah berdiri di sebelahnya menatap kearah Michiyo, membuat gadis itu gugup.

“Tidak aku tidak akan ikut.”

“Kenapa?”

“Aku hanya.. aku.. kulitku memerah kalau terlalu sering digosok-gosok.”

“Kalau begitu, berendam saja.”

“Ah? Tidak, tidak. Kulitku juga sensitif terhadap air panas.” Michiyo menggosok-gosokkan kulitnya sebagai dramatisasi tambahan, berharap dapat meyakinkan Miura.

“Baiklah. Michiyo, Aku pergi dulu.”

Michiyo mengangguk dan tersenyum melihat kepergiannya. Dengan segera, gadis itu meraih tasnya dan berlari kearah kamar mandi sekolah. Diam-diam, Miura menangkap pergerakannya.

“Akhirnya mereka pergi,” ujar Michiyo lega. Michiyo membasuh mukanya diwestafel dan segera masuk kedalam kamar mandi.


***


“Mandi air hangat memang selalu menyenangkan, ya?” Taro mengawali pembicaraan selesainya mereka berendam pagi itu. “Kita memiliki agenda kegiatan nanti pukul 10. Masih ada waktu. Siapa yang mau makan ramen?”

Mereka memilih rumah makan mie dekat sekolah mereka. Lantaran beberapa alasan, salah satunya karena jarak yang tidak terlampau jauh dengan sekolah.

“Ngomong-ngomong, dimana si anggota termuda kita?” tanya Hikaru, teman sekelas Michiyo.

“Maksudmu?” respon Miura.

“Siapa lagi kalau bukan Kato?”

“Dia tidak ikut. Katanya kulitnya sensitif terhadap air panas.”

“Benarkah? Anak itu memang aneh,” kata Hikaru santai disertai persetujuan siswa lain. Miura terdiam melihat kekompakan mereka dalam bersikap buruk terhadap Michiyo.

Ini hanya melintas begitu saja dipikirannya, setelah makan ramen bersama, Miura berjalan menuju kamar mandi sekolah. Ia sendiri sebetulnya juga heran, mengapa ia melakukannya.

Sudah kosong. Tentu saja. Miura bermaksud untuk kembali sebelum matanya melihat sesuatu. Ia mendekat dan mengambil sesuatu yang lebih mirip seperti kain dan ini biasanya digunakan wanita untuk… Wanita?!?

Sementara didalam tenda, Michiyo yang baru saja selesai menggeledah isi tasnya, panik. Kain yang ia gunakan tadi untuk menutupi bagian dada menghilang. Jangan katakan bahwa ia tidak sengaja meninggalkannya disana! Baru saja Michiyo akan keluar dari tenda, Miura datang dengan tatapan dingin. Ia masuk kemudian merapatkan (menutup) ‘pintu’ tenda. Keringat dingin yang mengalir perlahan dari dahi Michiyo memberikan jawaban atas segala pertanyaannya.

“Ini milikmu, kan?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar