Minggu, 29 April 2012

Love And Truth [Part 01]





Casts :
·         Haruma Miura
·         Kato Michiyo
·         Mikako Tabe 
           And other casts

Author’s POV

“Baaannggguuunnn!!!!” Tabe mengguncang tubuh adiknya keras-keras. Namun hal itu tetap membuat adiknya tak berkutik. Apa dia minum obat bius sebelum tidur?

Michiyo sudah membuka matanya sejak tadi. Sebenarnya ia sudah bangun, karena bunyi langkah kaki yang mendominasi lantai atas kamarnya. Kenapa ia tidak bangun? Ini kesempatan emas untuk membuat kakaknya sakit kepala lagi.


“Bangun, bangun, bangun! Dasar kebo! Bangunn!!!”

Secara tiba-tiba, Michiyo membuka selimutnya. “Ya, Kak?” tanyanya dengan wajah polos.

“Jadi kau sedan mempermainkanku, begitu?” Tabe memukul kepala adiknya pelan, dengan tidak rela. Kalau diijinkan, ia akan memukul tempurung adiknya ini jauh lebih keras! Berani-beraninya dia bermain-main dengan pemegang sabuk hitam karate!

“Wah, mereka benar. Wajah Kakak semakin cantik kalau marah! Umm, mirip-mirip Sadako gitu.” Michiyo sudah melesat pergi sebelum Tabe memperlihatkan jurusnya yang kedua.

“Maa!! Kakak mau membunuhku!” Michiyo berlari dan melompat dua anak tangga dalam sekali lompatan.

“Awas kau Chiiyyyoo!!!!” geram kakaknya yang masih setia mengejarnya.

***

“Hei, Ohayou!”

“Oh, hai! Pagi Michiyo!”

Dengan sikap layaknya seorang preman, ia memasuki ruang kelas yang sudah mulai penuh itu. Dengan santainya ia melempar tasnya di atas meja yang terletak dipaling belakang kelas. Semua orang sudah mengenalnya. Kato Michiyo, adik dari aktris populer Mikako Tabe. Meski sedarah, tak ada tanda-tanda kemiripan pada kakak ataupun Ibunya. Ayahnya, hanya sedikit. Malangnya, yang menurun adalah sifat nakal Ayahnya. Kalau siapa pun melihat Michiyo, tak akan ada yang mengira bahwa dia adalah anak perempuan, kecuali ketika dia sudah mengeluarkan suaranya. Suaranya memang terdengar jelas seperti perempuan, tapi parasnya benar-benar tak berbeda dengan seorang lelaki tampan!

Perlahan, ia menyadari sesuatu yang ganjil dalam lingkup ruang kelasnya. Meski terlambat, akhirnya Michiyo bersuara, “ada apa ini?”

“Kau belum dengar?” salah satu dari mereka menyahut. “Kazuto tidak bisa bermain hari ini. Dia kecelakaan saat perjalanan pulang dari rumah temannya. Kami belum mendapatkan penggantinya padahal kompetisi akan dimulai satu jam lagi.”

“Satu jam lagi?” Michiyo mengerutkan kening sesaat. “Bagaimana kalau aku saja?”

“Apaa????”

***

“Tidak.. tidak.. Tidak. Pokoknya tidak!”

“Ayolah Pak.. Bapak kan tahu kemampuanku juga hampir setara dengan Kazuto.”

“Jadi begitu? Apa kau lupa peraturan yang berlaku? Yang diperbolehkan bermain hanya laki-laki!”

“Apa saya terlihat seperti perempuan?”

“Tidak.”

“Lalu?”

“Tapi,.. tetap saja kau wanita!”

“Mereka tidak akan tahu siapa saya kalau Bapak bersedia tutup mulut.”

“Seharusnya aku sudah memberimu skor tinggi atas ketidak sopananmu.”

“Jadi, bagaimana Pak?”

“Terserah!” kata pelatih olahraga menyerah. “Lakukan sesukamu!” Pelatih membalikkan badannya dan berjalan menjauh.

“Yes!” teriak Michiyo. Teman laki-lakinya yang akan menjadi teman se-grupnya menampakkan diri dan memberikan ‘high five’ pada gadis itu.

Dari sinilah, kisah hidup seorang Kato Michiyo yang sebenarnya akan dimulai…

Michiyo sudah berpakaian rapi hanya dalam waktu lima menit. Persiapan yang benar-benar baik dan terencana, mungkin?

“Ini tidak akan mudah, Chiyo. Jadi berusahalah sekuat tenaga. Jangan sampai kau terjatuh di tengah lapangan, mengerti?”

“Siap, Kapten!” Michiyo tersenyum lebar sambil mengangkat tangannya member hormat. Gadis itu benar-benar merasa senang. Menjadi penyerang dalam tim sepak bola sekolah merupakan hal baru untuknya dan ini akan menjadi tantangan yang luar biasa!

“Dan, satu lagi. Jangan sekali-sekali keluarkan suaramu. Jika sampai terpaksa, sangat terpaksa, beratkan dulu suaramu baru kuijinkan untuk bersuara.”

“Ya, Kapten.” Michiyo kesal mengingat suaranya yang benar-benar mencerminkan dirinya seorang wanita. Suaranya merusak segalanya yang telah menjadi cirinya. Suaranya yang terkesan feminin, Michiyo sangat membenci itu.

***

“Kalian sudah siap? Semangat!” Anggota tim saling memberikan semangat satu sama lain. Michiyo tersenyum lebar. Matanya berbinar-binar, mencerminkan besarnya kebahagiaan yang dirasakannya kini. Kita pasti menang!

Bunyi peluit pertama membuat darahnya berdesit saking cepatnya mengalir. Michiyo dapat merasakan dengan jelas rasa gugup dan kebahagiaan yang kini meluap. Sekolahnya sedang bertarung melawan SMA Tatsuno. Mengerikan. Karena mereka adalah lawan yang simbang. Dengan seluruh kemampuannya Michiyo berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan bolanya. Lawannya pintar juga. Seakan dapat membaca pikiran Michiyo, apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Namun sayang, Michiyo tidak mungkin sepolos itu. Otaknya sudah disusun dengan muslihat yang akan dilakukannya. Salah satunya dengan menipu lawan dengan pergerakannya yang mendadak dan tidak diduga. Lawan cukup kesulitan menghadapi ini.

Bunyi peluit kembali terdengar. Ini sebagai pertanda waktu istirahat. Jantungnya berdegup kencang sekali. Keringatnya menetes dan membasahi seluruh tubuhnya. Tapi ia merasa bangga, karena ini sama saja memperlakukannya seperti lelaki sejati.

“Miura!” panggil seseorang yang tidak dikenalnya. Dilihat dari seragamnya, pasti dia dari tim lawan. Seseorang yang bernama Miura itu melambaikan tangannya dan orang yang menyapanya spontan mendekatinya, mengulurkan sebotol air mineral yang dengan cepat diteguknya, Miura. Jadi dia Miura… Seperti pernah dengar. Di mana? Kapan?

Michiyo memperhatikan lawan utamanya dengan seksama. “Oh, baiklah. Namanya Miura,” ulang Michiyo pelan. Michiyo tersenyum miring ketika para suporter wanitanya memberi semangat menggebu-gebu pada Miura dan pria itu memberikan senyum termanisnya. Tentu saja para gadis berteriak-teriak karena itu. Michiyo tertawa datar. “Hal terbodoh yang pernah kulihat.”

Pertandingan kembali dimulai. Babak kedua semakin seru setelah masing-masing tim memompa kembali energi mereka. Dengan optimis dan rasa percaya diri tinggi, Michiyo berdiri berhadapan dengan Miura. Benda bulat yang akan menjadi incaran dimenit-menit berikutnya-lah yang memisahkan mereka. Miura menatap lawannya, ia tersenyum. Michiyo tetap berusaha tidak peduli. Tapi senyum Miura yang perlahan menghilang menarik perhatiannya. Kini senyuman itu berganti dengan tatapan menyelidik yang jelas-jelas membuat Michiyo merasa tidak nyaman. Menyadari kesalahannya, sebelum peluit berbunyi ia melemparkan senyumnya pada Michiyo.



Miura’s POV

Aku lega bahwa akhirnya waktu istirahat datang juga. Aku sempat khawatir kalau-kalau tenagaku benar-benar habis di lapangan ini karena lawanku sangat tangguh. Selama aku mengikuti perlombaan olahraga antar sekolah, aku belum pernah melihatnya. Apa dia anak baru?

Entahlah. Aku sempat meliriknya. Tubuhnya terbilang pendek, tapi gerakannya lincah sekali. Otaknya penuh tipu muslihat. Dia bukan lawan yang mudah. Aku harus lebih meningkatkan kewaspadaanku. Kalau aku gagal, aku tidak akan masuk ke sekolah Sakkato, sekolah yang sudah menjadi impianku bertahun-tahun.

Baiklah. Peluit sudah berbunyi, tandanya untuk bersiap!

Kami kembali berhadapan, tentu saja. Namun ada satu hal yang baru kusadari. Wajahnya mulus, mungkin itu biasa. Aku juga memiliki wajah yang mulus. Kulit bersih dan putih? Aku juga ada. Tapi, apa benar kalau wajah pemain ini terlihat agak cantik?

Tatapan herannya membuatku sadar. Aku tidak ingin membuat lawanku khawatir atau apa pun. Entahlah, aku tidak tahu hanya saja, sudut bibirku terangkat kembali sebelum peluit berbunyi menandakan dimulainya kembali persaingan diantara kami.


Author’s POV

Pertandingan kembali dimulai. Michiyo dengan kreatifnya membuat gerakan-gerakan baru. Banyak yang terpukau dan terjebak dengan itu. Satu-satunya yang sulit masuk perangkap adalah Haruma Miura. Perlahan tapi pasti, Miura mengerti jalan pikiran Michiyo. Pantaslah jika dia menerima peringkat pertama diangkatannya pada penerimaan laporan perkembangan siswa beberapa bulan lalu. Begitu pula dengan Michiyo yang mulai merasakan aura mencekam disekelilingnya.

Michiyo melirik jam digital di pinggir lapangan. Tidak mungkin. Lima menit lagi? Bagaimana dia bisa membuat gol jika waktu yang tersisa sesingkat ini? Tapi pasti bisa, Michiyo pasti bisa! Dalam menit-menit terakhir termometer kesengitan pertandingan semakin meningkat. Michiyo mulai putus asa dan gugup kalau sampai usahanya berujung sia-sia. Dua menit terakhir tersisa. Kalau sampai aku gagal, hidupku berakhir!

Dengan cepat, Michiyo menggiring bola kearah gawang lawan. Sedikit lagi pasti bisa! Satu… dua… tiiiggg..!

Senyum Michiyo menghilang seketika ketika ia menyadari Miura sudah merebut bolanya. Dengan hati yang begitu mengkerut, Michiyo hanya terdiam ditempat menyaksikan Miura terus menggiring bola, mendekati gawang SMA Hibiya dan.. Ah! Goooollll!!!!!

Michiyo jatuh berlutut di lapangan. Matanya sudah terasa panas. Dengan cepat ia bangkit dan berlari keluar lapangan. Ia tidak ingin menemui siapa pun. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju toilet. Ia tidak mempedulikan orang-orang berlalu lalang yang memperhatikannya.

Ia duduk sambil menutup wajah dengan kedua tangannya di toilet. Ia merasa begitu malu. Apa yang dapat ia katakan pada pelatih? Tidak masalah mengenai berapa banyak caci maki yang akan diperolehnya. Tapi bagaimana dengan perasaan teman-teman satu timnya?

Tanpa perintah, air mata Michiyo mengalir. Dengan cepat gadis itu mengusap wajahnya. Matanya begitu panas karena ia menahan tangisannya. Baginya menangis terlalu kekanak-kanakan. Jadi sebisa mungkin ia menghindari itu. Meski sesungguhnya ia justru lebih memilih menangis dalam beberapa jenis masalah.

Michiyo mendengar bunyi air mengalir. Sepertinya seseorang sedang bermain dengan air di westafel itu. Maksudnya, menggunakan air. Michiyo membuka pintu toilet dan mendapati Miura sedang membasuh wajahnya. Ia medongak dan tersenyum pada bayangan Michiyo lewat cermin dihadapannya. Michiyo memalingkan pandangan dan tidak menatap Miura sama sekali. Ia tidak sudi melakukannya pada lawan yang telah menjatuhkannya. Michiyo mendekat dan mengulurkan tangannya. “Selamat,” ujarnya cuek kemudian pergi. Aku terpaksa melakukannya karena kebiasaan sialan itu (memberi selamat meski kalah, menandakan permainan dilakukan secara baik dan sportif).

Michiyo tidak langsung pulang ataupun pergi ke sekolah. Ia duduk di halte dengan tatapan menerawang. Untuk pertama kalinya ia merasa kalah, merasa lemah. Banyak bis yang berhenti lantaran kehadiran Michiyo di tempat itu. Tapi ketidak pedulian Michiyo membuat bis-bis itu segera berlalu dengan cepat. Michiyo mengangkat sebelah tangannya untuk melihat jam tangan hitamnya. Sudah pukul lima. Di sekolah pasti sudah sepi.

***


Michiyo mengayuh sepedanya cepat-cepat menuju sekolah. Hanya ada beberapa penjaga kebersihan yang masih ada di sekolah. Tampat itu sudah cukup sepi. Dengan cepat Michiyo segera mengambil beberapa bola sepak di gudang dan berlari ke lapangan. Ia ingin terus berlatih.

Tendangannya selalu masuk dari jarak dan sudut mana saja. Kini tersisa satu bola yang belum ditendangnya. Michiyo menendangnya keras-keras tapi malah memantul karena bibir gawang.

“Aaaaarrrggghhhhh!!!!!!!!!!!” teriak Michiyo sekeras ia bisa. Kemudian ia mengacak rambutnya dengan sekali gerakan dan menjatuhkan dirinya dalam keadaan terlentang di lapangan.

“Kau tertekan?”

Michiyo menoleh kearah sumber suara. “Kazuto?”

Michiyo dan Kazuto dengan kursi rodanya duduk dipinggir lapangan. “Bagaimana keadaanmu?” Kazuto memulai pembicaraan.

“Seperti yang kau lihat.”

“Tapi aku rasa masih lebih buruk aku daripada kau.”

“Eh?” Michiyo menatap mata Kazuto.

“Tentu saja. Aku mendapat banyak ketidak beruntungan akhir-akhir ini. Salah satunya dengan menghilangnya kesempatan untuk masuk ke sekolah Sakkato. Padahal itu sudah menjadi impianku sejak lama.”

“Sekolah Sakkato? Apa itu?”

“Jadi kau belum tahu sama sekali?”

Michiyo menjawabnya dengan sebuah gelengan.

“Sekolah diperuntukkan khusus untuk orang-orang yang kedepannya akan menjadi pemain sepak bola. Pertandingan ini sekaligus sebagai ujian masuk sekolah Sakkato.”

“Pertandingan tadi?” Michiyo mengulang kalimat Kazuto.

“Iya. Karena SMA Tatsuno yang menang, peserta didik yang akan dipilih pastilah juga dari sana.”

“Tidak ada satu pun yang dari sini?”

“Bisa saja. Hanya kemungkinan kecil.”

Michiyo meninju lengan Kazuto, kemudian menatap langit yang terbentang tak terbatas itu. “Kalau berniat memperburuk moodku, lebih baik kau pergi saja.”

“Maaf. Awalnya aku bermaksud ingin menghiburmu.”

“Bagaimana keadaan kakimu?”

“Sudah tidak sesakit kemarin. Aku rasa proses penyembuhannya tergolong cepat.”

“Benarkah? Baguslah,” ujar Michiyo datar.

“Kau berniat mengatakannya tidak? Kalau tidak lebih baik tarik kembali ucapanmu tadi.”

“Baik. Akan kutarik kembali,” kata Michiyo dengan raut wajah serius. Tapi setelahnya gadis itu tertawa kecil, “ aku bercanda. Ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa tahu aku berada di sini?”

“Rumah sakitku kan dekat jalan depan sekolah. Kebetulan kamarku di lantai dua dekat jalan, jadi aku dapat melihatmu dan sepedamu dengan jelas. Oh ya, cara mengemudimu itu mengerikan sekali. Aku harap kau selalu beruntung, agar riwayatmu tidak akan berakhir terlalu cepat.”

“Sialan kau.” Michiyo tersenyum. “Aku memang anak liar, ya?”

Kazuto hanya mengangkat kedua bahunya. “Pulanglah. Sudah hampir malam.”

***

Michiyo menginjakkan kaki di sekolahnya dengan malas. Sebenarnya bukan karena ia benar-benar malas. Melainkan karena ia malu untuk bertemu dengan teman satu tim sepak bolanya kemarin.

Seluruh teman-temannya menatap kearahnya begitu dia akan masuk. Beruntung tak lama pelatih olahraga mereka memanggil Michiyo, membuat gadis itu dapat lari dari tatapan memburu teman-teman satu tim-nya. Pelatih berhenti tiba-tiba dan berkata, “Kamu diterima di Sakkato! Michiyo, selamat!”

Butuh beberapa waktu bagi Michiyo untuk mencerna informasi yang datang mendadak ini. “Benarkah? Sakkato?” Tidak sesuai dengan perkiraan gurunya itu, raut wajahnya justru terlihat berlawanan dari kebahagiaan.

“Hei, Michiyo, ada apa denganmu?”

“Aku hanya tidak menyangka akan masuk ke sekolah itu.” Tentu saja dia tidak menyangka. Bagaimana tidak, sekolah itu dipruntukkan khusus untuk laki-laki!

“Mau menerima atau tidak? Tapi aku lupa kau itu kan perempuan..”

“Tidak Pak. Saya akan masuk ke sana,” ujarnya mantap. “Masalah suara, jangan khawatir.”

***

“Apa??? Hei, kamu itu perempuan, sadarlah sedikit!” Omelan Tabe benar-benar dapat membuat gendang telinga pecah. Suaranya nyaring sekali!

“Ssssttt, diam! Hanya pelatih dan kakak yang mengetahui ini. Aku sama sekali tidak berniat memberitahukannya pada Ayah dan Ibu.”

“Kalau begitu biar aku yang mengatakannya.”

“Kakak!”

“Chiyo, sadarlah sedikit! Mereka di sana laki-laki dan kau perempuan. Satu banding ratusan siswa. Kau selalu dalam bahaya kalau sampai masuk sana!”

“Aku kan laki-laki, Kak.”

“Sepertinya pada awalnya Tuhan ingin menciptakanmu sebagai anak laki-laki, tapi kemudian Ia berubah pikiran dan menjadikanmu perempuan.”

“Ayolah, Kak.. ijinkan aku kali iniii saja. Ini kesempatan terakhirku, Kak..” ujar Michiyo, mengemis pada Kakaknya, memasang wajah semanis mungkin.

“Aku tidak bisa bertanggung jawab penuh atas keputusanmu. Lakukan saja sesuai kehedak hatimu.”

Michiyo segera melingkarkan tangan untuk memeluk kakaknya. “Terima kasih.”

***

Dengan langkah mantap, Michiyo berjalan mendekati gerbang Sakkato. Ia menatap gerbang sekolah itu selama beberapa saat. “Sakkato? Hebat sekali..”

Baru saja akan melangkah, bel Sakkato sudah berbunyi. “Apa?!? Sejak kapan sekolah ini masuk dua puluh menit lebih awal  dari jam normal?” Michiyo segera berlari masuk.

Gedungnya benar-benar besar ditambah banyaknya lapangan. Wow, sekolah ini pastilah luas sekali. Siswanya juga tidak banyak. Michiyo sempat berputar-putar mencari kelas dan akhirnya ia mendapati kelasnya. Sebenarnya tidak sulit mencari letak kelasnya karena ia masuk di kelas A yang terletak di lantai dasar. Tapi kecerobohan Michiyo membuatnya harus menghabiskan banyak waktu sebelum menemukan kelasnya. Ia berdiri di depan pintu kelas yang terbuka. Semua mata di dalam kelas menoleh keluar. Seorang pria dewasa sedang menjelaskan sesuatu kepada para siswa kelas A sampai ia berhenti dan ikut melihat kearah Michiyo.  Guru itu sempat menatap Michiyo dengan tatapan tajam dan menyiratkan kegusaran. Tapi kemudian ia melirik salah satu bangku di kelasnya yang masih kosong. “Masuklah. Tapi kau harus ikut aku ke kantor guru pada jam istirahat.”

Tanpa rasa bersalah, ia masuk ke dalam ruangan dan menempati kursinya yang lagi-lagi dipojok. Semua mata menatap ke arahnya termasuk wali kelas mereka, Gyuji Sensei yang hanya menggelengkan kepala. Cara Michiyo berjalan dan sikap duduknya seperti mencerminkan orang yang tidak berpendidikan.

Saat jam istirahat, Gyuji Sensei memberi isyarat pada Michiyo yang pada akhirnya mengikuti wali kelasnya ke ruang guru.

“Siapa namamu? Hmm, Kato Michiyo, ya?” ujar guru itu sambil memeriksa daftar nama-nama siswanya. “Karena kau siswa baru, aku memberimu kesempatan. Seharusnya aku sudah menghukummu dan tempatmu yang layak saat ini adalah lapangan berumput dibelakang.” Gyuji Sensei memegang dagunya dan tangan lainnya diletakkannya di atas lengan kursi.

“Mulai saat ini kuputkan kau harus menghabiskan waktu istirahatmu di ruang Bimbingan Konseling. Setiap hari.”

“Apa?” Michiyo sontak berdiri saking kagetnya.

“Duduk,” kata guru itu lagi, menunjuk tempat duduk yang tadi diduduki Michiyo dengan dagunya.

“Justru dengan melihat sikap kasarmu, aku jadi mengerti. Kau benar-benar butuh pelajaran. Sikapmu tadi memantapkanku untuk memasukkanmu ke BK.”

Michiyo menciut. Apa kekasar inikah sikapnya selama ini? Tapi dia tidak sering dihukum sewaktu di sekolah lamanya. Sebenarnya sering sekali dihukum. Tapi tidak setiap hari seperti ini.

“Satu lagi. Sekolah Sakkato selalu masuk pukul tujuh pagi.”

Michiyo masuk ke dalam kelas dengan langkah gontai. Masih seperti tadi pagi, teman-teman barunya menatapnya dengan tatapan mengejek. Semua, kecuali satu yang sedang sibuk dengan ponselnya, Miura.

Sayang sekali Michiyo harus menghabiskan waktu iastirahatnya untuk mendapatkan pelajaran tambahan. Padahal saat jam istirahat, seluruh siswa diperbolehkan berlatih dan bermain memanfaatkan seluruh fasilitas yang ada.

Hari-hari berikutnya tidak ada yang berubah. Malah kini seluruh siswa Sakkato menganggapnya rendah. Beruntung, Michiyo bersikap cuek. Pertahanannya terbilang kuat.

Bel istirahat berbunyi, saatnya ke ruang BK. Tidak tahu sejak kapan, Michiyo kini bersemangat untuk menghabiskan untuk mendengarkan ocehan tambahan di BK daripada terdiam dan mendengarkan ocehan siswa Sakkato lain dalam kelas.

Konnichiwa, Sensei.”

Konnichiwa. Kemarilah Michiyo.” Michiyo tanpa sadar tersenyum mendengar sapaan guru yang kini menjadi favoritnya setelah dekat selama sebulan karena Bimbingan Konseling, Kuzuwa Sensei.

Michiyo menurut dan mendekat. Lalu ia duduk berhadapan dengan Kuzuwa Sensei. “Bagaimana kabarmu hari ini?”

“Cukup baik.”

Kuzuwa Sensei hanya tersenyum. “Kalau begitu hari ini aku akan mengajarimu tentang perasaan.”

Sejak awal bertemu dengan Kuzuwa Sensei, Michiyo sudah merasa ada yang berbeda antara orang ini dengan warga sekolah lain termasuk para guru. Kuzuwa Sensei memiliki kewibawaan besar yang mampu membuat Michiyo tunduk dan kelembutan hatinya yang mampu membuat Michiyo patuh. Rasa kesal sempat menggeluti Michiyo selama beberapa waktu sehingga ia bertindak semakin kasar selama beberapa hari. Tapi Kuzuwa Sensei selalu berhasil membuatnya tunduk kembali. Karena hal itu, kini Michiyo menghormati Kuzuwa Sensei sebagai orang yang paling dihormati setelah keluarganya. Kemampuan Kuzuwa Sensei memang telah diketahui banyak warga sekolah. Para guru menanggapnya memiliki bakat khusus dalam bidang konseling. Seperti apa sih Kuzuwa Sensei sampai berhasil menaklukkan gunung batu sekeras Michiyo?

“Sampai bertemu nanti, Michiyo.” Kuzuwa Sensei memberikan senyum hangatnya. Michiyo tersenyum lebar membalas senyum gurunya itu.

To be continue~

1 komentar: